Masa Kita: Saturnus yang Dilukis Rembulan Karya Zahra Firlia
Cerpen
Saturnus yang Dilukis Rembulan
Zahra Firlia
Sebuah buket bunga mawar berwarna merah muda untuk Rembulan dengan notes kecil.
I Love You, Rembulan
- Gardara
Aku datang pagi-pagi, hanya untuk menaruh buket bunga, dan itu bunga kesukaan Rembulan, bunga mawar. Jelas dia belum datang. Kutaruh buket bunga itu di laci mejanya.Sengaja aku letakkan di situ agar teman sekelas Bulan tidak menyentuhnya karena itu untuk Bulan. Tidak ada yang boleh menyentuhnya sebelum Bulan. Ralat, maksudku hanya Bulan saja yang boleh menyentuhnya. Walaupun sebenarnya mba-mba yang merangkai buketnya sudah menyentuhnya duluan. Lalu, aku yang kedua.
Saat bel istirahat berbunyi, aku ke kelas Bulan. Selalu begitu. Kadang-kadang, kami membawa bekal dan memakannya bersama di kelasnya Bulan. Di kelasku juga pernah, tetapi lebih sering di kelasnya Bulan. Kami berbincang-bincang, tentang guru matematikanya yang killer, tentang buket bunga yang kuberikan tadi dan tentang apa saja. Bulan senang katanya. Dia bilang aku suka mengagetkan. Aku tersenyum senang. Nanti aku kasih apalagi, ya? Biar Bulan tambah kaget.
Sekolah pun selesai pukul dua siang. Semua murid berhambur ke luar kelas. Ada yang menuju gerbang, ke kantin, ke wc, ke ruang guru dan aku ke kelas Bulan. Saat aku tiba, dia sudah tidak ada di kelasnya. Yang tersisa di kelas itu hanya anak-anak yang kerja kelompok. Heran, apa mereka tidak capek setelah sekolah seharian? Lalu, setelah itu kerja kelompok?
Saat aku ingin menuju gerbang sekolah, dari jauh aku sudah melihat Bulan berdiri di dekat gerbang. Dia menunduk, memainkan ponselnya. Tampaknya dia sedang memesan ojek online, pikirku.
“Rembulan," panggilku agak sedikit berteriak. Dia menoleh, di antara puluhan manusia yang juga ingin menuju gerbang, matanya langsung tertuju padaku. Aku menghampirinya. Entah mengapa wajahnya manis sekali. Lucu. Matanya menyipit seperti akan menghilang saat gadis itu tersenyum. Aku refleks langsung tersenyum melihat dia tersenyum. Benar-benar menyinari hatiku. Persis sinar rembulan.
"Tadi aku ke kelas kamu, Bul," kataku lagi. Bahkan, dia belum mengucapkan satu kata seperti 'iya' atau 'apa' sejak aku memanggilnya. Bulan memang tidak banyak bicara. Aku tidak heran jika dia hanya mengangguk saja. Lagi-lagi dia tersenyum. Tanganku rasanya ingin mencubit pipinya dengan gemas. Melihat ini masih di sekolah, tidak jadi. Sebenarnya itu hanya pencitraan saja. Aku juga tak pernah mencubit gemas pipi gadis itu sebelumnya.
"Tadi aku ke kelas kamu, Bul," kataku lagi. Bahkan, dia belum mengucapkan satu kata seperti 'iya' atau 'apa' sejak aku memanggilnya. Bulan memang tidak banyak bicara. Aku tidak heran jika dia hanya mengangguk saja. Lagi-lagi dia tersenyum. Tanganku rasanya ingin mencubit pipinya dengan gemas. Melihat ini masih di sekolah, tidak jadi. Sebenarnya itu hanya pencitraan saja. Aku juga tak pernah mencubit gemas pipi gadis itu sebelumnya.
“Terus aku mau langsung pulang aja. Pasti kamu udah pulang sama abang ojek. Eh, ketemu kamu di sini. Ayok, sini sama aku aja hari ini. Aku anterin,” ajakku.
“Tapi Garda, aku udah pesen ojek. Udah deket, mau nyampe bentar lagi juga sampe pasti. Masa aku cancel,” jawab Bulan. Aku senang sekali mendengar dia berbicara. Aku suka jika Bulan banyak bicara.
“Iya, batalin aja,” kataku dengan nada jengkel. Yang sudah pasti aku buat-buat. Mana bisa aku jengkel dengan gadis di hadapanku sekarang ini.
“Ngga mau, ah,” balasnya. Lalu, dia lanjut menatap layar ponselnya. “Kamu baru dateng. Aku udah pesen lama,” lanjutnya. Aku berharap dia berbicara satu kalimat lagi. Sudah sekitar satu menit kutunggu ternyata dia tidak mengeluarkan kata-kata lagi dari mulutnya.
Aku tatap wajahnya. Cantik. Aku bilang, “Aku kan nawarin terus, malah kamu nolak, Bulan. Emang kamu mau kalo aku anterin?” Bulan menatapku balik. “Ngga mau,” katanya. Aku diam sejenak, lalu aku berinisiatif untuk duduk di kursi samping kami berdiri. Aneh. Ada kursi, tetapi dari tadi, aku dan Bulan malah memilih untuk berdiri.
“Aku tungguin kamu sampe ojeknya dateng. Sini duduk dulu aja,” ajakku. “Udah mau sampe.”
Lalu satu detik kemudian, abang ojek berjaket hijau sudah di depan gerbang. “Eh itu ojeknya. Dadah, Gardaraa …” Sambil melambaikan tangannya, Bulan mengambil helm yang diberikan abang ojeknya, kemudian memakainya. Aku balas dengan lambaian tanganku juga. “Dadah, Bulan. Hati-hati.”
Hari ini, benar-benar menguras energiku. Aku merasa lelah dan mengantuk. Sesampainya di rumah, aku mengganti seragam sekolahku dengan kaos, kemudian aku mengisi perutku dan aku langsung tertidur. Tanpa sadar, aku sudah tidur lama sekali. Aku terbangun di keesokan harinya.
Aku terbangun cukup pagi. Biasanya aku bangun siang karena hari ini libur. Rencanaku hari ini hanya mengerjakan tugas, setelah itu tidak ada. Aku bergegas turun ke bawah mengambil roti. Perutku sudah keroncongan. Aneh, jika ada orang sudah bangun tidur tetapi tidak merasa lapar. Saat aku kembali ke kamar, kuambil lagi ponselku. Sudah ada notifikasi pesan dari Bulan. Bulan, apakah kamu di sana juga tersenyum sepertiku sekarang ini? Apakah kamu tahu jika aku selalu tersenyum setiap mendapatkan notifikasi darimu? Kubaca pesannya dan langsung kubalas detik itu juga.
‘Garda, aku mau ngelukis. Temenin aku, ya. Mau nggak? Di Lily, ya.’
Maulah. Tidak ada kata ‘tidak’ untuk Bulan. Bulan mau ngelukis katanya. Di cafe yang biasa aku sama dia datengin. Setiap minggu kami selalu mampir ke sana. Pasti. Hanya saja dua minggu terakhir kami tak sempat mampir ke Lily. Tugas kelompok menumpuk. Aku bahkan hampir lupa jika sudah dua minggu. Aku langsung mengambil handukku dan bergegas mandi. Setelah itu, aku langsung meluncur ke rumah Bulan. Sesampainya di ‘rumah calon mertuaku` itu, aku langsung membuka pagar dan mengetuk pintu. Sekitar lima menit aku menunggu. Pintu terbuka menunjukkan seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun. Mirip Bulan. Lucu sekali. Itu adiknya. Namanya Binar. Begitu kata Bulan saat kutanya, wajahnya mirip dia. Mungkin seperti itu kira-kira Bulan sewaktu kecil.
Aku dan Bulan sudah ada di Lily sejak pukul setengah dua siang. Sengaja, agar kami berdua bisa lumayan lama di sini. Melukis membutuhkan waktu yang lama bukan? Tapi untuk Bulan tidak perlu. Aku sebelumnya juga sering sekali menemaninya. Aku mengajaknya untuk makan siang dulu tadi. Aku pergi bersama anak orang tapi tidak kuajak makan. Bagaimana ceritanya.
“Gambar saturnus,” kataku. “Iya, saturnus,” balasnya. Hening sekitar beberapa detik setelahnya. Aku memandangi lukisannya. Sesekali kupandangi wajahnya saat melukis. Bulan dengan jemarinya yang memegangi kuas dan melukis indah di atas kanvas. Tangannya menari nari. Dia menuangkan seluruh imajinasinya dalam lukisan. “Aku suka banget saturnus,” lanjutnya. Bahkan, aku hampir tidak mendengar suaranya. Sangat kecil. Lembut sekali. “Saturnus yang planet kan?” tanyaku. “Iya,” jawabnya. “Emang siapa lagi.”
“Bukan nama orang kan?”. Aku hanya bercanda. Jarang sekali memang nama orang menggunakan nama planet saturnus. Bulan mengangguk lalu tertawa. Aku juga ikut tertawa. “Kalo kamu … suka apa?” tanya Bulan. “Kamu,” jawabku bercanda tapi serius. Ini aku serius menyukainya. Benar-benar menyukainya. “Ih, bukan gitu … kamu sukanya apa? Selain suka aku,” tanyanya lagi.
“Aku suka Rembulan.” Rembulan dia maksudnya. Asyik sekali jika berbincang seperti ini dengan Bulan. Wajahnya terlihat kebingungan sepertinya dia paham maksudku. Lalu, melanjutkan melukis. “Nggak, nggak .. aku suka langit. Soalnya di langit ada bulan, bintang, matahari dan temen-temennya,” jelasku dengan riang. Bulan ber-oh ria. Wajahnya lucu. Mulutnya membulat, matanya juga. Sambil menatapku, dia seperti kaget. Tidak tahu kenapa dia kaget. Aneh ya. Padahal dia suka saturnus, aku tidak kaget, tuh. “Ada kamu di langit.” Lanjutku. Aku tidak bisa berhenti berbicara. “Aku mau jadi langit.”
“Kamu ganti nama aja.”
Aku menggeleng. “Aku suka namaku, Gardara. Garda terdepan.” Dia tersenyum. Sedikit tertawa. Aku suka ketawanya. Aku suka semua yang dilakukannya. Bahkan, dia hanya diam saja aku suka.
“Aku mau jadi buah aja.” Entah kenapa dia pengen jadi buah? Ngomong-ngomong pengen jadi buah. Ada satu topik pertanyaan muncul di kepalaku.
“Kamu kalo jadi hewan pengen jadi apa?”
“Kenapa tiba-tiba hewan? Aku mau jadi lumba-lumba. Kalo kamu?” Ya, kamu kenapa mau jadi buah? Batinku.
“Keren. Kalo aku mau jadi kuda.”
“Wow, keren.” Pembicaraan macam apa ini. Tidak tahu kenapa, tetapi setiap aku berbicara dengannya seperti ini. Mengobrol berdua, rasanya seru. Tidak bisa aku bayangkan jika aku sudah tidak bersamanya lagi. Dia yang menemani, menjadi teman ngobrol, menanyakan bagaimana hari yang dijalani. Lalu, keesokannya sosok yang biasa dijadikan tempat keluh kesah itu pergi dan menghilang.
Hening lagi, Bulan kembali sibuk melukis. Aku sibuk memandanginya. Tak tahu berapa kali aku senyum-senyum. Aku berharap tidak ada yang melihatku senyum-senyum melihat seorang perempuan yang sibuk melukis.
“Gardara,” panggilnya tiba-tiba. “Kamu liatin aku dari tadi?” tanyanya kaget karena sedari tadi aku memang memandanginya. “Iya, aku lihatin kamu. Kenapa, bul?”
“Gapapa, aku sebenernya takut ngomong ini. Ayo kita udahan,” pintanya. Disini aku belum mengerti udahan apa. Jadi, aku berdiri dan mengajaknya pulang. Bulan masih diam duduk memandangi lukisannya. Satu detik kemudian, dia menatapku. Sebenarnya ada dua kemungkinan di otakku sekarang. Udahan di sini dan satu lagi udahan pacarannya. Tapi itu konyol. Tidak mungkin. Selama ini, dia terlihat baik-baik saja. Kami juga tidak sedang bertengkar sebelumnya. Bahkan, aku dan Bulan jarang adu mulut atau mempermasalahkan sesuatu. Aku mengerti di sini maksudnya, dia ingin putus.
Jadi, kutanya “kenapa, Bulan?”. Aku tidak mood sekarang. Seakan-akan aku mendengar kabar buruk. Aku teringat ketika mendapat kabar jika kakekku meninggal. Rasanya sama seperti sekarang. Aku duduk kembali. Bulan menunduk. Dia tidak berbicara apapun. “Ayo pulang,” ajakku. Dia hanya tersenyum kecut. Tidak tersenyum seperti Bulan yang biasanya. Aku tidak melihat seorang Bulan dalam dirinya sekarang. Di perjalanan kami saling diam, benar-benar seperti orang asing. Padahal Bulan tahu tentangku, begitu pula denganku. Hari itu, aku masih belum mengerti. Hubunganku dan dia telah berakhir. Tidak ada interaksi lagi di antara aku dan dia. Terakhir, aku mengirimi dia pesan di salah satu aplikasi chat. Aku hanya mengetik satu kata, ‘Bulan’. Tidak dibalas. Di sekolah juga aku hanya menemuinya sesekali saja, ketika di kantin. Dia tampak biasa saja. Dengan satu sahabat dekatnya yang memang selalu bersamanya. Dia selalu menghindariku dan benar-benar menjaga jarak denganku. Sejak dari cafe itu, keesokannya di sekolah aku tidak pernah lagi ke kelasnya.
Ujian akhir pun akan dimulai satu minggu lagi. Kelas akhir memang sangat sulit. Tahun ini aku lulus SMA dan akan melanjutkan ke perkuliahan. Yang aku dengar, katanya Bulan ingin melanjutkan kuliahnya di salah satu universitas di Korea Selatan. Tidak tahulah. Aku sekarang sudah sangat sibuk dengan belajar. Hari pengumuman kelulusan pun sudah tiba. Aku diterima di salah satu perguruan tinggi negeri.
“Garda, lo dah tau belum Bulan diterima di universitas di Korea itu. Apa itu namanya?” “Korea University.”
“Lo tau?”
“Nggak, gue denger-denger dia mau masuk sana.”
“Iya dia diterima, gue kaget sedikit. Sepupu gue diterima.”
“Kapan berangkatnya?”
“Gatau juga gue. Belum nanya-nanya.”
“Oh iya hati-hati bilangin. Salam dari Gardara. Kangen.”
“Siap, nanti gue bilangin.” Laki-laki yang seumuran denganku itu diam sejenak. Kemudian, mengeluarkan satu kalimat lagi yang sangat amat membuatku kepikiran. “Susulin ke Korea, Gar.”
Aku senang dan bangga mendengarnya. Bulan memang rajin dan cerdas. Tidak heran jika dia bisa diterima di salah satu perguruan tinggi di Korea Selatan. Aku melihat kembali lukisan saturnus yang dilukis oleh Bulan. Saturnus. Bulan suka saturnus. Aku ingat betul percakapan di cafe satu tahun lalu. Aku melihat dia melukis, dari kanvas yang tadinya kosong sampai penuh dengan cat yang warnanya indah. Lukisan itu tertinggal di mobilku waktu itu. Mungkin dia lupa membawanya. Aku baru menyadarinya ketika aku tiba di rumah. Memang sengaja tidak aku kembalikan. Aku ingin menyimpan lukisan itu untukku. Jika aku ditakdirkan untuk hidup bersamanya, sudah pasti kami akan bertemu lagi, entah kapan. Yang harus aku lakukan sekarang adalah menjalani hidupku. Mewujudkan mimpiku.
👍👍👍
BalasHapus