Masa Kita: Kesombongan Kupu-Kupu Karya Aliyah Andina

 Fabel


Kesombongan Kupu-Kupu

Aliyah Andina


Alkisah, tersebut seekor kupu-kupu berwarna kuning yang tinggal di atas pepohonan rimbun. Warna sayap yang rupawan tak seiras dengan hati. Tak satu pun hewan mau berteman karena sifat yang besar kepala. Walau demikian, justru senang karena bisa hidup bebas tanpa dikekang.

"Tak satu pun bisa menandingiku," ungkapnya seraya tertawa.

Suatu hari, seekor burung kolibri sedang asyik menghisap nektar. Kupu-kupu terbang mendekati yang disambut dengan kehangatan. Tak lupa, pujian dilontarkan kala melihat sayapnya yang berkilau diterpa matahari.

"Saya ke sini untuk ikut serta mencicipi nektar tersebut. Kelihatannya, manis sekali," ujar kupu-kupu tersenyum.

"Hehehe, iya. Kamu benar. Nektar ini memang manis. Silakan dicicip," jawab burung kolibri.

Ia coba mencicipi nektar hingga tak bersisa. Setelah itu, berpamitan kepada burung kolibri yang sedari tadi diam memperhatikan.

"Terima kasih. Sampai jumpa."

Burung kolibri membelalakkan mata saat mengetahui nektar tersebut habis tak bersisa. Kupu-kupu kembali melanjutkan perjalanan. Langit yang kehitam-hitaman beriring gemuruh tak menyurutkan langkahnya. Malahan, semangat makin memancar.

Tempat yang selanjutnya dikunjungi ialah pohon bunga angsoka. Tiga ekor kupu-kupu lain sedang hinggap seraya tertawa. Timbul rasa cemburu di hati. Ia pun berencana untuk mengusir mereka.

"Hai, teman-teman. Wah, ternyata kita satu spesies!" soraknya.

"Benar sekali. Ayo ke sini," sambut kupu-kupu lain meriah.

Sang kupu-kupu merobek sayap temannya dengan duri hingga berteriak kesakitan. Tak lama kemudian, terjatuh di tanah. Melihat ini, yang lain segera menemuinya. Sedangkan, ia hanya memperhatikan dengan tersenyum puas.

"Ha-ha-ha. Rencanaku berhasil. Kini, saatnya mengisap nektar!" tawanya melengking.

Tiba-tiba, sesuatu jatuh di atas kepalanya. Sontak saja, ia panik dan berteriak. Burung kolibrilah yang membuatnya malu dengan menjatuhkan kotoran. Sudah lama, memantau sikap kupu-kupu yang arogan itu. Sesekali tertawa dari kejauhan.

“Bagaimana? Lebih baik seperti ini ketimbang menjadi bintang dengan menjatuhkan bintang lain.”

Kupu-kupu terdiam. Rasa malu menyelimuti pikiran. Air mata tumpah membasahi dedaunan. Ia segera meninggalkan tempat itu tanpa berpamitan. Sedangkan, yang lain berusaha mengejar meski berujung sia-sia. Mereka sudah lama mengetahui perilaku yang sebenarnya, tetapi dibiarkan karena yakin semua akan berubah.

Sang kupu-kupu bersembunyi di dalam pohon yang tak dapat ditembus oleh sinar rembulan. Rasa bersalah menghantuinya saat itu. Berkali-kali ia coba mematahkan sayap, berkali-kali pula gagal. Teriakan histeris tak dapat terhindarkan lagi.

Beberapa saat kemudian, burung kolibri sudah bertengger di sebelah. Suara yang merdu belum dapat menghilangkan kesedihannya. Sebuah ide muncul di benak. Ia membuka perbincangan dengan menanyakan hal yang paling disukai. Awalnya, kupu-kupu tak mengacuhkan. Namun, karena kehangatan yang diberikan sang teman, ia pun mulai membuka mulutnya.

“Tak perlu bersembunyi seperti itu. Kesalahan bukan menjadikanmu langit yang senantiasa mendung, melainkan jadi bunga yang menyadarkan dengan keharuman,” nasihat burung kolibri dengan lembut.

“Terima kasih telah mengajarkanku arti kebaikan,” jawab kupu-kupu tersenyum.

Bagaikan padi, semakin masak semakin merunduk. Sang kupu-kupu telah berubah. Ia mulai berbaur dengan teman-teman tanpa rasa angkuh. Ia bahkan senang berbagi nektar yang manis. Sebuah kelegaan tampak dari dalam diri. Gundah gulana yang selama ini menyelimuti kini sirna berganti bintang di langit.


Aliyah Andina, mahasiswa aktif Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sriwijaya angkatan 2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RILIS JAJARAN HMPBSI KM FKIP UNSRI 2018/2019

Masa Kita: Saturnus yang Dilukis Rembulan Karya Zahra Firlia